Sahabat dunia islam, dalam islam selain
mengajarkan tata cara beribadah dan hukum yang berkaitan dengan ibadah
kita juga di ajarkan tentang adab dalam kehidupanya. Seseorang yang
punya akhlak yang baik adalah seimbangnya mengerjakan ibadah dan menjaga
sopan santun atau yang biasa di sebut adab. Sesuai judul di atas
tentang Adab Ketika Buang Hajat dan Kencing dalam islam juga di atur.
Tujuanya adalah mencerminkan kehidupan secara islami yang mengajarkan
tentang akhlak yang baik.
Secara garis besar Adab Ketika Buang Hajat
maupun kencing hendaknya tidak menghadap kiblat dan juga tidak
membelakanginya. Di anjurkan ketika buang hajat di tempat yang sudah di
sediakan seperti Toilet dll, Apabila di tempat terbuka kencing maupun
BAB ( buang air besar) hendaknya tidak di lakukan di air yang diam, di
bawah pohon berbuah, di jalan, di tempat bernaung, di lobang. Dan
hendaknya tidak berbicara saat kencing dan tidak menghadap ke matahari
dan bulan serta tidak membelakanginya.
Adapun secara terperinci hendaklah ia mengikuti 10 adab ketika buang hajat berikut ini. Semoga bermanfaat.
Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Kami pernah keluar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak
menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang
jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat”
Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Seperti memakai cincin yang bertuliskan
nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan
untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap orang
secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.”.
Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak
peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan,
“Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke
dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dimasukkan
ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.”
Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di
luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut
dengan alasan kondisi darurat.”
Ketiga: Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang hajat.
Ini jika seseorang memasuki tempat buang
hajat berupa bangunan. Sedangkan ketika berada di tanah lapang, maka ia
mengucapkannya di saat melucuti pakaiannya.
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Penghalang antara pandangan jin dan
aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki
tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.”
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan: Allahumma
inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempua.”
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan.”
Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan setan, sedangkan khobaits adalah maksiat. Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’ disukun) dan khobaits
itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena
makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan
maksiat.
Keempat: Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.
Untuk dalam perkara yang baik-baik
seperti memakai sandal dan menyisir, maka kita dituntunkan untuk
mendahulukan yang kanan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir
rambut, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”
Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam
mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini
ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah
yang baik. Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri.
Hal inilah yang lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika.”
Asy Syaukani rahimahullah
mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang
hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka
mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk
hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri.
Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global.”
Kelima: Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian mendatangi jamban, maka
janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi,
hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu
kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun
menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan
kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” Yang dimaksud dengan
“hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah.
Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita
dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan
diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.
Namun apakah larangan menghadap kiblat
dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di
luar bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di
luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas.
Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan
pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam.
Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh
karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan
menghadap Syam.” Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.
- Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang membolehkannya.
- Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau.
- Hadits Ibnu ‘Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal ini.
Simpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih hati-hati adalah haram secara mutlak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat.
Keenam: Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Ada seseorang yang melewati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing.
Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak
membalasnya.”
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan
berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam
ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan
merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan
hadits di atas.
Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika
itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada
Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada
suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan
pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan
semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”
Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hati-hatilah dengan al la’anain
(orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu
al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan
tempat bernaungnya manusia.”
Kedelapan: Tidak buang hajat di air yang tergenang.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.”
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar
Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang
sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.” Dari sini,
berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat
menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang
lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar.
Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka
tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya karena
seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.
Kesembilan: Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok), di antaranya sebagai berikut.
- Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan.
Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian
minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia buang hajat,
janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia
beristinja’ dengan tangan kanannya.
- Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar). Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq. Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang
membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya.”
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka gunakanlah tiga batu.”
- Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudhu dengan satu kali – satu kali membasuh, lalu setelah itu beliau
memerciki kemaluannya.”
Jika tidak mendapati batu untuk
istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi
tiga syarat: [1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan
[3] bukan barang berharga seperti uang atau makanan. Sehingga dari
syarat-syarat ini, batu boleh digantikan dengan tisu yang khusus untuk
membersihkan kotoran setelah buang hajat.
Kesepuluh: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya
Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka”
selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah
untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya.
Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya
sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.”
Demikian beberapa adab ketika buang
hajat yang bisa kami sajikan di tengah-tengah pembaca sekalian. Semoga
Allah memberi kepahaman dan memudahkan untuk mengamalkan adab-adab yang
mulia ini. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat yang
akan membuahkan amal yang sholih.
Artikel www.muslim.or.id dipublish ulang oleh www.duniaislam.org
0 komentar:
Posting Komentar